BITUNG, bitungnews.id — Festival Pesona Selat Lembeh (FPSL) 2025 yang seharusnya menjadi perayaan seni dan budaya terbesar di Kota Bitung, justru meninggalkan catatan kontroversial. Sejumlah penggiat seni dan orang tua siswa menuding, pertunjukan tarian kolosal di malam puncak festival itu didanai lewat pungutan dari sekolah-sekolah hingga menembus ratusan juta rupiah.
Informasi yang diperoleh menyebutkan, setiap pelajar yang ikut dalam tarian kolosal dimintai biaya antara Rp1,5 juta hingga Rp1,8 juta per anak, dengan dalih untuk menyewa kostum dan properti pertunjukan. Kegiatan tersebut melibatkan sekitar 100 siswa dari jenjang SD dan SMP di Bitung.
Namun, di lapangan muncul dugaan ketidaksesuaian antara biaya dan fasilitas yang dijanjikan. Sejumlah orang tua menyebut anak mereka tetap harus membeli perlengkapan sendiri, termasuk baju manset dan aksesoris tambahan.
“Kalau katanya uang itu untuk sewa kostum, kenapa masih ada yang disuruh beli sendiri? Kami jadi bertanya-tanya, ke mana sebenarnya dana itu mengalir,” ujar seorang wali murid kepada media, Jumat (17 Oktober 2025).
Jika ditotal, dana yang terkumpul dari iuran tersebut diperkirakan mencapai sekitar Rp200 juta. Jumlah yang dinilai tidak kecil untuk kegiatan yang masuk dalam agenda resmi Pemerintah Kota Bitung.
Kritik juga datang dari kalangan penggiat seni daerah. Mereka menilai kebijakan yang membebani sekolah justru mencederai semangat pemberdayaan seniman lokal.
“Kami dengar panitia tidak mengalokasikan anggaran khusus untuk tarian kolosal, sehingga sekolah-sekolah diminta kontribusi dan dimasukkan dalam ARKAS. Tapi seharusnya, kegiatan sebesar FPSL tak boleh memindahkan beban ke siswa,” kata seorang pelaku seni Bitung.
Ia menambahkan, yang lebih menyakitkan, pelatih utama justru bukan dari Bitung. “Pelatihnya dari Sanggar Makuta, Gorontalo. Padahal, Bitung punya banyak sanggar dan seniman yang mumpuni. Ini penghinaan bagi pelaku seni lokal,” ujarnya menegaskan.
Selain persoalan dana, pemerhati budaya menyoroti kualitas artistik tarian kolosal FPSL 2025. Mereka menilai, pertunjukan tahun ini kehilangan karakter budaya Sulawesi Utara yang seharusnya menjadi ruh utama festival.
“Gerak, lagu, dan unsur sastra tidak merepresentasikan identitas lokal Bitung. Konsepnya mengulang pertunjukan tahun lalu, tanpa inovasi atau napas budaya daerah,” ujar seorang budayawan Bitung kepada sejumlah media.
Di sisi lain, Kepala Dinas Pendidikan Kota Bitung membantah keras tudingan adanya pungutan terhadap siswa. Ia menegaskan seluruh kebutuhan peserta tarian kolosal dibiayai oleh anggaran pemerintah.
“Tidak ada beban biaya pada siswa. Seragam, properti, dan make-up dibiayai oleh APBD Kota Bitung,” tulis Kadis Pendidikan melalui pesan singkat kepada wartawan.
Namun, hingga berita ini diterbitkan, Panitia Pelaksana FPSL 2025 maupun Dinas Pariwisata Kota Bitung belum memberikan keterangan resmi terkait detail pembiayaan kegiatan maupun alasan dilibatkannya pelatih dari luar daerah.
Sejumlah penggiat seni mendesak pemerintah daerah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap pola penyelenggaraan FPSL. Mereka menilai festival tahunan itu telah bergeser dari semangat awalnya sebagai ruang apresiasi bagi pelaku seni lokal.
“FPSL seharusnya menjadi panggung kreativitas masyarakat Bitung, bukan proyek yang justru menimbulkan beban dan kecurigaan publik,” ujar salah satu penggerak seni.
Sorotan publik terhadap dugaan pungutan ini kian memperpanjang daftar kritik terhadap pengelolaan kegiatan budaya di daerah. Transparansi penggunaan anggaran dan keberpihakan terhadap pelaku seni lokal kini menjadi ujian bagi komitmen pemerintah kota dalam menjaga marwah budaya Bitung di mata masyarakatnya sendiri.